Angin
berhembus pelan, menyibakkan dedaunan pohon akasia besar yang tumbuh
sejak puluhan tahun lalu. Telah banyak peristiwa yang disaksikannya
sejak ia pertama kali ditanam. Seperti hari ini, ia menyaksikan
peristiwa yang begitu mengharukan, perpisahan dua anak manusia yang
saling mencintai, menyayangi dan memiliki.
Bocah
itu bernama Salim. Ia tidak menangis, tidak menjerit bahkan tidak
mengucapkan sepatah kata apapun. Salim hanya menunduk, seolah sedang
memperhitungkan nasib diri selanjutnya. Ia berusaha untuk tegar atas
nasib yang diterimanya ini. Berbeda dengan laki-laki di hadapannya itu.
Pria yang lebih tua 10 tahun darinya, pria yang seharusnya lebih dewasa
dalam menyikapi hidup, menangis tersedu-sedu. Ia memang tak sekuat
adiknya yang memang terlahir dalam keadaan hidup penuh cobaan dan
penderitaan. Latif tak bisa begitu saja meningalkan satu-satunya
keluarganya yang masih tersisa.
“Lim,
maafkan kakak, kakak harus pergi dari desa ini Lim. Kakak harus hijrah
ke daerah lain jika masih ingin hidup. Kakak harus mengubah nasib Lim,
nasib kakak dan nasibmu juga. Maaf, maaf, maaf!”
Salim
tidak berkata apa-apa ia masih terdiam. Ia tak bisa berkata-kata atau
enggan berkata-kata sudah tak jelas lagi perbedaan keduanya.
Pelukan
Latif pada adiknya berakhir setelah ia menyadari pandangan tak sabar
dari para penumpang lain. Semua kesedihan ini berawal ketika . . .
“Mau kemana nak?”
“Ke kota, Bu. Cari sampah plastik buat dijual.”
“Tapi,
apa kamu tidak lihat kalau langit sedang mendung? Mungkin sebentar lagi
akan ada badai. Lebih baik kamu di rumah saja, Nak!”
“Tidak
bu! Kalau Salim tidak pergi, Salim tidak bisa dapat uang buat beli buku
, Bu,” sang Ibu hanya bisa terdiam menatap kobaran api dari tungku. Ia
mengerti nasib anaknya tidak akan begini jika suaminya tidak meninggal.
Lelaki yang sangat dicintainya itu meninggal saat benih di perutnya baru
berumur empat bulan. Meninggal akibat penyakit stroke yang menggerogoti
tubuhnya. Beserta tumbangnya laki-laki itu, tumbang pula usaha yang
mereka rintis. Bangkrut. Banyak utang. Sebuah akumulasi dari semakin
meroketnya harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang menjadi energi utama
usaha mereka. Alkisah, Salim (masih dalam kandungan), Ibu, dan kakak
satu-satunya harus tergusur ke sebuah rumah berdinding papan di tanah
satu-satunya yang tersisa dari kejayaan masa lampau.
“Asalamualaikum.
. .” Ucap salim seraya melangkah pergi. Sang Ibu hanya bisa menjawab
lemah salam itu. Tertunduk lesu menonton kobaran api asyik menjilat
pantat panci.
Awan
semakin menghitam. Membentuk kesatuan-kesatuan ditiap sudut langit.
Tapi Salim tak peduli dan tak mau mengerti. Kakinya terus saja mengayun
kuat menelan tiap jengkal jalan setapak menuju kota. Jalan yang menurun
menambah kecepatan langkahnya. Rumah di atas bukit itu dulunya diberikan
Ayahnya untuk penjaga perusahaan. Namun, sejak pria yang tak pernah
dilihatnya itu wafat, rumah kecil itu di kembalikan pada keluarganya.
Bagi Ibu dan kakaknya itu rumah kedua mereka. Tapi bagi Salim itu rumah
yang pertama dilihatnya sejak mencium aroma dunia.
Petir
menyambar bersahut-sahutan. Laksana genderang perang. Bertalu-talu,
silih berganti. Tapi apa bocah kecil, bermata kecil, berbaju kucel itu
mau berhenti? Kakinya semakin cepat terayun. Seolah tak mau kalah dengan
dentuman keras petir sore itu. Ia tak peduli dan memang tak mengerti
kalau setiap mencari sampah plastik ia akan melewati sebuah kompleks
gedung berpagar kawat berduri. Berdiri kokoh dan angkuh diantara semak
belukar yang semakin merengkuh dinding-dindingnya. PT. HARAPAN HARAHAP.
Papan nama di depan gedung itu berdiri acuh. Tak peduli kalau beberapa
huruf konsonannya sudah mengelupas. Bangunan itu tetap nampak megah
kendati rumput lebat telah memenuhi tiap inci jalan dan halaman dalam
kompleks bangunan itu. Salim tak pernah sadar kalau gedung tak terawat
itu dulunya simbol kejayaan keluarganya di masa lampau. Ia juga tak
pernah memperhatikan kalau HARAHAP adalah nama belakang Ayahnya.
Salim
berlari kecil meninggalkan kompleks bangunan itu. Bukan berarti ia
berlari menjauhi masa lalu keluarganya, bukan juga karena ia ingin lari
dari kenyataan. Matahari sudah tak terlihat lagi, bukan karena sudah
pergantian shift jaga langit. Matahari masih menguasai langit, tapi awan
hitam lenyapkan dirinya dari pandangan. Hal inilah yang memancing Salim
mengubah langkahnya menjadi langkah seribu. Dilewatinya hamparan kebun
tebu eks kebun tebu PT. HARAPAN HARAHAP. Tanpa melihat ke
sekeliling sedikit pun. Hanya jalan di hadapan matanya yang terpantul
dari beningnya bola mata bocah kecil itu. Salim tak pernah tahu kalau
kebun ini juga pernah menjadi milik keluarganya. Kini, perusahaan gula
lain yang mengambil alih hak kepemilikannya. Yang ada dalam kepalanya
hanya “Pergi ke kota, kumpulkan plastik sebanyaknya, evolusikan menjadi
uang, lalu tukarkan dengan buku pelajaran. Aku ingin pintar!”
Kristal-kristal
air sudah bertemu bumi saat Salim mulai mengeksploitasi tempat sampah
pertama yang ditemuinya. “Eksploitasi”, terdengar kejam bukan? Seolah
menggambarkan kegiatan penjarahan bumi tanpa pikir panjang. Memang
begitulah keadaannya. Orang lebih memilih mengeksploitasi bumi dari pada
sekedar bak sampah di pinggir kota. Isi bumi bisa habis, isi bak sampah
apakah akan habis? Memang akan habis, tapi penggantinya akan tetap
datang silih berganti. Buktinya, pemerintah semakin bingung mencari
tempat untuk menampung sampah yang makin menggunung. Jadi lebih rendah
mana antara pengekploitasi bumi dengan bak sampah? Pikir sendiri kawan!
Bukankah kau punya otak?
Jalanan sepi saat Salim mulai mengaduk-aduk bak sampah kelima yang ditemuinya.
“Jleb, jleb, jleb.”
Zat
itu tak henti-hentinya terus menusuk punggung kurus Salim. Perisai dari
selembar kain rombeng tak ada pengaruhnya sedikitpun untuk meredam
serangan yang kian menjadi. Pedih dan dingin. Rasa yang ditahan Salim
sejak tadi. Ia tak mempedulikan semua rasa itu. Yang ia pikirkan hanya
“Kumpulkan plastik sebanyaknya, evolusikan menjadi uang, lalu tukarkan
dengan buku pelajaran. Aku ingin pintar!”
Serangan
itu semakin menjadi. Tiupan angin kencang ikut menyatakan diri menjadi
penghalang perjuangannya. Salim terjebak penjara badai.
“Nak,” terdengar suara sayup-sayup di antara gemuruh bunyi hujan.
“Nak,” sekali lagi suara itu terdengar.
Ditengoknya arah yang paling mungkin menjadi sumber suaranya.
“Hei, Nak. Cepat kemari! Badai akan semakin parah,” seorang bapak berteriak dari depan etalase toko yang tutup.
Tak
ada jawaban. Bocah yang dimaksud tetap melanjutkan aktivitasnya. Bapak
itu kembali memanggil Salim. Banyaknya hasil yang ia dapat membuat Salim
melupakan keadaan sekelilingnya. Nampaknya Bapak itu tak sabar lagi, ia
berlari menerobos tirai hujan ke tempat Salim mengacak-acak sampah.
“Nak,
apa kamu tidak mendengar apa yang aku bilang? Badai ini bisa jadi
semakin parah, lebih baik kau ikut aku berlindung di sana!” pria itu
langsung menarik Salim tanpa menunggu jawaban darinya.
“Tapi,
Pak?” Salim coba menolak seraya menunjuk ke arah karungnya yang
dipenuhi sampah plastik tergeletak tak berdaya di tengah guyuran hujan.
Laki-laki
itu tak menghiraukan Salim. Ia terus menyeret Salim menjauhi ganasnya
badai. Mereka berdua harus berjalan terbungkuk-bungkuk melawan kuatnya
tiupan angin.
“Bruak,”
sebuah tempat sampah terbang terbawa angin menghantam telak kepala
laki-laki itu. Sesungguhnya Salim yang seharusnya mendapat damage dari peristiwa itu. Namun kesigapan Bapak tadi membuatnya terselamatkan.
“Kenapa
Bapak menyelamatkan saya?” ucap Salim begitu mereka berhasil berlindung
di emperan toko. Salim yang tumbuh menjadi pribadi mandiri dan hanya
percaya pada kemampuannya sendiri tidak memahami tingkah Bapak itu.
Untuk apa Bapak itu menolong dirinya yang bukan apa-apanya? Keluarga
bukan, teman juga bukan. Mereka bahkan baru beberapa menit yang lalu
saling melihat wajah masing-masing. “Aneh,” kata yang terus bercokol
dalam benak anak itu
“Sudahlah,
kau diam dan berdoa saja agar badai ini lekas reda!” tukas Bapak itu
sambil memegangi kepalanya yang dari tadi mulai mengeluarkan darah.
“Jdar! Jdar!”
Sambaran
petir semakin sering terjadi. Kedua orang itu meringkuk berlindung pada
dinding toko. Tak ada pembicaraan antara keduanya. Suara berisik dari
petir, hujan, angin, pohon yang tumbang, dan sesekali teriakan manusia
lebih banyak mendominasi indra pendengaran mereka.
“Hei nak, siapa namamu?” laki-laki itu memulai pembicaraan. Salim berpikir sejenak. Dipandanginya lekat mata sang sumber suara.
“Salim! Salim Angkara,” ucap Salim saat sorotan selidik matanya dipatahkan pandangan tajam dari mata lelaki itu.
Terdiam. Seolah ada lebah menyengat masuk ke dalam telinganya. Bapak itu memandangi Salim lebih lekat, lebih menyelidik.
“Angkara?! Apa nama Ayahmu Harahap Angkara?! Pemilik pabrik tebu di lereng gunung sana?”
“Ya,
Ayah saya memang bernama Harahap Angkara. Tapi saya tidak tahu sama
sekali prihal pabrik tebu itu,” awalnya pria itu memasang wajah bingung,
namun beberapa saat kemudian ekspresinya sudah berubah. Sepertinya ia
memahami sesuatu. “Kalau boleh tahu nama Bapak sendiri siapa?” nampaknya
kebekuan Salim berhasil dicairkan oleh sikap baik hati sang penyelamat.
“Oh, nama Bapak? Nama Bapak . . .”
“Jdar.
. .” terdengar sambaran keras petir disusul gemuruh keras. Mereka
berdua hanya bisa berlindung pada doa dan pasrah. Perlindungan dari atap
etalase toko tak seberapa efektif. Mereka tetap saja terkena air hujan
yang dibawa angin badai. Untuk beberapa saat mereka tetap diam.
Sedikit
demi sedikit hujan mulai mereda. Hembusan angin tak sekencang beberapa
menit yang lalu. Petir juga tak lagi pamer akan kedahsyatannya. Kedua
manusia di sudut etalase toko itu bisa bernafas lega untuk sesaat.
Karena sesaat kemudian ketegangan kembali mengafani.
“Hei
cepat!! Katanya beberapa rumah di bukit sana terkena longsor, kita
harus segera menolong mereka,” seorang pria berumur 30-an tahun
berteriak memanggil temannya. Di belakangnya beberapa orang laki-laki
berlari mengikuti. Suasana jalan menjadi agak gaduh.
Mendengar
kata bukit telinga Salim berdiri. Saraf auditori di telinga Salim
langsung membawa rangsang itu ke otak untuk diterjemahkan menjadi suatu
tanda kekhawatiran. Rangsang itu oleh otak dilanjutkan ke saraf motorik
yang kemudian ditindak lanjuti otot-otot gerak tubuh dengan segera
berlari.
“Hei nak mau kemana kau?” pria itu berteriak disela air hujan yang kini tinggal gerimis.
“Ke
bukit Pak!” jawab Salim singkat. Bocah itu terus berlari tanpa peduli
kalau di belakangnya sang penyelamat masih sempat meneriakkan kata-kata.
Bak-bak
sampah yang tadinya begitu ia buru kini hanyalah seonggok bak sampah
biasa. Sampah-sampah plastik yang tadinya begitu berharga kini hanyalah
sampah saja. Tadi ia bersusah payah mencari sampah plastik. Sekarang,
sampah-sampah plastik bertebaran di jalan. Tapi ia tak peduli.
Berlari
dan terus berlari. Hamparan tebu yang congak, kini tertunduk malu. Tak
ada yang dapat mereka banggakan lagi jika Pencipta mereka murka. Semua
tak berarti. Bahkan pabrik tebu yang tadi angkuh dan kokoh, kini runtuh.
Dari depan pabrik gula ia sudah dapat melihat bukit hijau kini berganti
warna. Kuning kecoklatan. Warna tanah yang menyeruak akibat longsor.
“Rumahku!” hal pertama yang ia cari. Tapi, rumah papan kecil itu sudah
tak ada lagi. Tanaman-tanaman kecil kesayangan Ibunya juga sudah lenyap.
“Ibu. . . ! Ibu. . . ! Ibu. . . !” Salim berteriak berharap ada jawaban dari orang yang dimaksud.
Ia melangkah menginjak tanah becek. Melewati beberapa pria yang menggali tanah di atas rumahnya.
“Ibu. . . !”
Salim
hampir pasrah. Semangatnya kembali muncul saat melihat seorang pria
menggali tanah dengan tangannya. Laki-laki itu menangis.
“Kakak!” Salim menghambur.
“Ibu mana kak?” tak ada jawaban. Laki-laki itu terus menangis dan menggali.
Salim terduduk.
Mobil itu semakin menjauh. Menyisakan debu dan harapan. Kini ia tinggal sendiri. Hanya sendiri. Benar-benar sendiri.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar