Halaman

Welcome To Cynthia's Blog

Rabu, 18 Januari 2012

Pertama Kali

Pertama kali bertemu, ku selalu ingat dirimu
meski hanya dalam angan,  kau selalu terbayang

engganku melupakanmu, karenaku mencintaimu
meski hanya dalam mimpi , hiasi tidurku

hanya dirimu kasih buatku bahagia
meski kau telah berdua ku kan menanti

hadirmu selalu membuatku tabah,
tuk menjalani semua derita

meski kau tlah berdua dan berlalu , 
namun ku kan berdo'a selamnya untumu

senyumu selalu terbayang, meski terkadang perih menusuk kalbu
hanya harap dan do'a , moga engkau bahagia , 
lagu ini tercipta hanya untukmu sayang

Ingin Bertemu

 


Betapa diriku ingin bertemu
memeluk dirimu seprti dulu lagi 
ratapan hati yang tak pernah pergi
remukan jiwaku

berjalan lewati perihnya cinta
melayang menembuns batas-batas hari
namun langkahmu merapuh dan lelah
kini kau pun pergi

oh tuhan ..
tolong ciptakan ruang terindah untuk kekasihku
kini ku jauh darinya 
sayangi dia , dia KEKASIHKU



cinta dalam do'a bertabur disana
sungguh jauh ditempat kau terlelah
jangan kau bersedih tunggu aku sayang
sambutlah aku di pintu surga

sayang begitu jauh tuhan memisahkan kita
yang tersisa hanyalah rangkaian do'a
semoga indah menemanimu
SELAMAT JALAN SAYANG


Selasa, 17 Januari 2012

Hilangnya Matahari


Angin berhembus pelan, menyibakkan dedaunan pohon akasia besar yang tumbuh sejak puluhan tahun lalu. Telah banyak peristiwa yang disaksikannya sejak ia pertama kali ditanam. Seperti hari ini, ia menyaksikan peristiwa yang begitu mengharukan, perpisahan dua anak manusia yang saling mencintai, menyayangi dan memiliki.

Bocah itu bernama Salim. Ia tidak menangis, tidak menjerit bahkan tidak mengucapkan sepatah kata apapun. Salim hanya menunduk, seolah sedang memperhitungkan nasib diri selanjutnya. Ia berusaha untuk tegar atas nasib yang diterimanya ini. Berbeda dengan laki-laki di hadapannya itu. Pria yang lebih tua 10 tahun darinya, pria yang seharusnya lebih dewasa dalam menyikapi hidup, menangis tersedu-sedu. Ia memang tak sekuat adiknya yang memang terlahir dalam keadaan hidup penuh cobaan dan penderitaan. Latif tak bisa begitu saja meningalkan satu-satunya keluarganya yang masih tersisa.

“Lim, maafkan kakak, kakak harus pergi dari desa ini Lim. Kakak harus hijrah ke daerah lain jika masih ingin hidup. Kakak harus mengubah nasib Lim, nasib kakak dan nasibmu juga. Maaf, maaf, maaf!”

Salim tidak berkata apa-apa ia masih terdiam. Ia tak bisa berkata-kata atau enggan berkata-kata sudah tak jelas lagi perbedaan keduanya.

Pelukan Latif pada adiknya berakhir setelah ia menyadari pandangan tak sabar dari para penumpang lain. Semua kesedihan ini berawal ketika . . .

“Mau kemana nak?”

“Ke kota, Bu. Cari sampah plastik buat dijual.”

“Tapi, apa kamu tidak lihat kalau langit sedang mendung? Mungkin sebentar lagi akan ada badai. Lebih baik kamu di rumah saja, Nak!”

“Tidak bu! Kalau Salim tidak pergi, Salim tidak bisa dapat uang buat beli buku , Bu,” sang Ibu hanya bisa terdiam menatap kobaran api dari tungku. Ia mengerti nasib anaknya tidak akan begini jika suaminya tidak meninggal. Lelaki yang sangat dicintainya itu meninggal saat benih di perutnya baru berumur empat bulan. Meninggal akibat penyakit stroke yang menggerogoti tubuhnya. Beserta tumbangnya laki-laki itu, tumbang pula usaha yang mereka rintis. Bangkrut. Banyak utang. Sebuah akumulasi dari semakin meroketnya harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang menjadi energi utama usaha mereka. Alkisah, Salim (masih dalam kandungan), Ibu, dan kakak satu-satunya harus tergusur ke sebuah rumah berdinding papan di tanah satu-satunya yang tersisa dari kejayaan masa lampau.

“Asalamualaikum. . .” Ucap salim seraya melangkah pergi. Sang Ibu hanya bisa menjawab lemah salam itu. Tertunduk lesu menonton kobaran api asyik menjilat pantat panci.

Awan semakin menghitam. Membentuk kesatuan-kesatuan ditiap sudut langit. Tapi Salim tak peduli dan tak mau mengerti. Kakinya terus saja mengayun kuat menelan tiap jengkal jalan setapak menuju kota. Jalan yang menurun menambah kecepatan langkahnya. Rumah di atas bukit itu dulunya diberikan Ayahnya untuk penjaga perusahaan. Namun, sejak pria yang tak pernah dilihatnya itu wafat, rumah kecil itu di kembalikan pada keluarganya. Bagi Ibu dan kakaknya itu rumah kedua mereka. Tapi bagi Salim itu rumah yang pertama dilihatnya sejak mencium aroma dunia.

Petir menyambar bersahut-sahutan. Laksana genderang perang. Bertalu-talu, silih berganti. Tapi apa bocah kecil, bermata kecil, berbaju kucel itu mau berhenti? Kakinya semakin cepat terayun. Seolah tak mau kalah dengan dentuman keras petir sore itu. Ia tak peduli dan memang tak mengerti kalau setiap mencari sampah plastik ia akan melewati sebuah kompleks gedung berpagar kawat berduri. Berdiri kokoh dan angkuh diantara semak belukar yang semakin merengkuh dinding-dindingnya. PT. HARAPAN HARAHAP. Papan nama di depan gedung itu berdiri acuh. Tak peduli kalau beberapa huruf konsonannya sudah mengelupas. Bangunan itu tetap nampak megah kendati rumput lebat telah memenuhi tiap inci jalan dan halaman dalam kompleks bangunan itu. Salim tak pernah sadar kalau gedung tak terawat itu dulunya simbol kejayaan keluarganya di masa lampau. Ia juga tak pernah memperhatikan kalau HARAHAP adalah nama belakang Ayahnya.

Salim berlari kecil meninggalkan kompleks bangunan itu. Bukan berarti ia berlari menjauhi masa lalu keluarganya, bukan juga karena ia ingin lari dari kenyataan. Matahari sudah tak terlihat lagi, bukan karena sudah pergantian shift jaga langit. Matahari masih menguasai langit, tapi awan hitam lenyapkan dirinya dari pandangan. Hal inilah yang memancing Salim mengubah langkahnya menjadi langkah seribu. Dilewatinya hamparan kebun tebu eks kebun tebu PT. HARAPAN HARAHAP. Tanpa melihat ke sekeliling sedikit pun. Hanya jalan di hadapan matanya yang terpantul dari beningnya bola mata bocah kecil itu. Salim tak pernah tahu kalau kebun ini juga pernah menjadi milik keluarganya. Kini, perusahaan gula lain yang mengambil alih hak kepemilikannya. Yang ada dalam kepalanya hanya “Pergi ke kota, kumpulkan plastik sebanyaknya, evolusikan menjadi uang, lalu tukarkan dengan buku pelajaran. Aku ingin pintar!”

Kristal-kristal air sudah bertemu bumi saat Salim mulai mengeksploitasi tempat sampah pertama yang ditemuinya. “Eksploitasi”, terdengar kejam bukan? Seolah menggambarkan kegiatan penjarahan bumi tanpa pikir panjang. Memang begitulah keadaannya. Orang lebih memilih mengeksploitasi bumi dari pada sekedar bak sampah di pinggir kota. Isi bumi bisa habis, isi bak sampah apakah akan habis? Memang akan habis, tapi penggantinya akan tetap datang silih berganti. Buktinya, pemerintah semakin bingung mencari tempat untuk menampung sampah yang makin menggunung. Jadi lebih rendah mana antara pengekploitasi bumi dengan bak sampah? Pikir sendiri kawan! Bukankah kau punya otak?

Jalanan sepi saat Salim mulai mengaduk-aduk bak sampah kelima yang ditemuinya.

“Jleb, jleb, jleb.”

Zat itu tak henti-hentinya terus menusuk punggung kurus Salim. Perisai dari selembar kain rombeng tak ada pengaruhnya sedikitpun untuk meredam serangan yang kian menjadi. Pedih dan dingin. Rasa yang ditahan Salim sejak tadi. Ia tak mempedulikan semua rasa itu. Yang ia pikirkan hanya “Kumpulkan plastik sebanyaknya, evolusikan menjadi uang, lalu tukarkan dengan buku pelajaran. Aku ingin pintar!”

Serangan itu semakin menjadi. Tiupan angin kencang ikut menyatakan diri menjadi penghalang perjuangannya. Salim terjebak penjara badai.

“Nak,” terdengar suara sayup-sayup di antara gemuruh bunyi hujan.

“Nak,” sekali lagi suara itu terdengar.

Ditengoknya arah yang paling mungkin menjadi sumber suaranya.

“Hei, Nak. Cepat kemari! Badai akan semakin parah,” seorang bapak berteriak dari depan etalase toko yang tutup.

Tak ada jawaban. Bocah yang dimaksud tetap melanjutkan aktivitasnya. Bapak itu kembali memanggil Salim. Banyaknya hasil yang ia dapat membuat Salim melupakan keadaan sekelilingnya. Nampaknya Bapak itu tak sabar lagi, ia berlari menerobos tirai hujan ke tempat Salim mengacak-acak sampah.

“Nak, apa kamu tidak mendengar apa yang aku bilang? Badai ini bisa jadi semakin parah, lebih baik kau ikut aku berlindung di sana!” pria itu langsung menarik Salim tanpa menunggu jawaban darinya.

“Tapi, Pak?” Salim coba menolak seraya menunjuk ke arah karungnya yang dipenuhi sampah plastik tergeletak tak berdaya di tengah guyuran hujan.

Laki-laki itu tak menghiraukan Salim. Ia terus menyeret Salim menjauhi ganasnya badai. Mereka berdua harus berjalan terbungkuk-bungkuk melawan kuatnya tiupan angin.

“Bruak,” sebuah tempat sampah terbang terbawa angin menghantam telak kepala laki-laki itu. Sesungguhnya Salim yang seharusnya mendapat damage dari peristiwa itu. Namun kesigapan Bapak tadi membuatnya terselamatkan.

“Kenapa Bapak menyelamatkan saya?” ucap Salim begitu mereka berhasil berlindung di emperan toko. Salim yang tumbuh menjadi pribadi mandiri dan hanya percaya pada kemampuannya sendiri tidak memahami tingkah Bapak itu. Untuk apa Bapak itu menolong dirinya yang bukan apa-apanya? Keluarga bukan, teman juga bukan. Mereka bahkan baru beberapa menit yang lalu saling melihat wajah masing-masing. “Aneh,” kata yang terus bercokol dalam benak anak itu

“Sudahlah, kau diam dan berdoa saja agar badai ini lekas reda!” tukas Bapak itu sambil memegangi kepalanya yang dari tadi mulai mengeluarkan darah.

“Jdar! Jdar!”

Sambaran petir semakin sering terjadi. Kedua orang itu meringkuk berlindung pada dinding toko. Tak ada pembicaraan antara keduanya. Suara berisik dari petir, hujan, angin, pohon yang tumbang, dan sesekali teriakan manusia lebih banyak mendominasi indra pendengaran mereka.

“Hei nak, siapa namamu?” laki-laki itu memulai pembicaraan. Salim berpikir sejenak. Dipandanginya lekat mata sang sumber suara.

“Salim! Salim Angkara,” ucap Salim saat sorotan selidik matanya dipatahkan pandangan tajam dari mata lelaki itu.

Terdiam. Seolah ada lebah menyengat masuk ke dalam telinganya. Bapak itu memandangi Salim lebih lekat, lebih menyelidik.

“Angkara?! Apa nama Ayahmu Harahap Angkara?! Pemilik pabrik tebu di lereng gunung sana?”

“Ya, Ayah saya memang bernama Harahap Angkara. Tapi saya tidak tahu sama sekali prihal pabrik tebu itu,” awalnya pria itu memasang wajah bingung, namun beberapa saat kemudian ekspresinya sudah berubah. Sepertinya ia memahami sesuatu. “Kalau boleh tahu nama Bapak sendiri siapa?” nampaknya kebekuan Salim berhasil dicairkan oleh sikap baik hati sang penyelamat.

“Oh, nama Bapak? Nama Bapak . . .”

“Jdar. . .” terdengar sambaran keras petir disusul gemuruh keras. Mereka berdua hanya bisa berlindung pada doa dan pasrah. Perlindungan dari atap etalase toko tak seberapa efektif. Mereka tetap saja terkena air hujan yang dibawa angin badai. Untuk beberapa saat mereka tetap diam.

Sedikit demi sedikit hujan mulai mereda. Hembusan angin tak sekencang beberapa menit yang lalu. Petir juga tak lagi pamer akan kedahsyatannya. Kedua manusia di sudut etalase toko itu bisa bernafas lega untuk sesaat. Karena sesaat kemudian ketegangan kembali mengafani.

“Hei cepat!! Katanya beberapa rumah di bukit sana terkena longsor, kita harus segera menolong mereka,” seorang pria berumur 30-an tahun berteriak memanggil temannya. Di belakangnya beberapa orang laki-laki berlari mengikuti. Suasana jalan menjadi agak gaduh.

Mendengar kata bukit telinga Salim berdiri. Saraf auditori di telinga Salim langsung membawa rangsang itu ke otak untuk diterjemahkan menjadi suatu tanda kekhawatiran. Rangsang itu oleh otak dilanjutkan ke saraf motorik yang kemudian ditindak lanjuti otot-otot gerak tubuh dengan segera berlari.

“Hei nak mau kemana kau?” pria itu berteriak disela air hujan yang kini tinggal gerimis.

“Ke bukit Pak!” jawab Salim singkat. Bocah itu terus berlari tanpa peduli kalau di belakangnya sang penyelamat masih sempat meneriakkan kata-kata.

Bak-bak sampah yang tadinya begitu ia buru kini hanyalah seonggok bak sampah biasa. Sampah-sampah plastik yang tadinya begitu berharga kini hanyalah sampah saja. Tadi ia bersusah payah mencari sampah plastik. Sekarang, sampah-sampah plastik bertebaran di jalan. Tapi ia tak peduli.

Berlari dan terus berlari. Hamparan tebu yang congak, kini tertunduk malu. Tak ada yang dapat mereka banggakan lagi jika Pencipta mereka murka. Semua tak berarti. Bahkan pabrik tebu yang tadi angkuh dan kokoh, kini runtuh. Dari depan pabrik gula ia sudah dapat melihat bukit hijau kini berganti warna. Kuning kecoklatan. Warna tanah yang menyeruak akibat longsor. “Rumahku!” hal pertama yang ia cari. Tapi, rumah papan kecil itu sudah tak ada lagi. Tanaman-tanaman kecil kesayangan Ibunya juga sudah lenyap.

“Ibu. . . ! Ibu. . . ! Ibu. . . !” Salim berteriak berharap ada jawaban dari orang yang dimaksud.

Ia melangkah menginjak tanah becek. Melewati beberapa pria yang menggali tanah di atas rumahnya.

“Ibu. . . !”

Salim hampir pasrah. Semangatnya kembali muncul saat melihat seorang pria menggali tanah dengan tangannya. Laki-laki itu menangis.

“Kakak!” Salim menghambur.

“Ibu mana kak?” tak ada jawaban. Laki-laki itu terus menangis dan menggali.

Salim terduduk.

Mobil itu semakin menjauh. Menyisakan debu dan harapan. Kini ia tinggal sendiri. Hanya sendiri. Benar-benar sendiri.***